PEMBINAAN DISIPLIN KELAS
PEMBINAAN DISIPLIN KELAS
Makalah
Disusun untuk memenuhi Matakuliah Manajemen Kelas
yang dibina oleh Bapak Ahmad Nurabadi, S.Pd, M.Pd
Disusun oleh:
Aa Coreta (170131601105)
Ega Ardiantinata Kusuma P. (170131601100)
Nur Aida Indah E. (170131601060)
Viana
Rahmawati (170131601103)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI ADMINISTRASI PENDIDIKAN
SEPTEMBER, 2018

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang
telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah manajemen sarana
dan prasarana tepat pada waktunya. Sholawat serta salam tak lupa penulis
sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah menerangi semua umat di muka bumi
ini dengan cahaya kebenaran.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah ikut
membantu dalam penyelesaian penyusunan makalah ini. Khususnya kepada dosen
pembimbing mata kuliah Manajemen Kelas, yaitu Bapak Ahmad Nurabadi, S.Pd, M.Pd
yang telah membimbing dan membagi pengalamannya kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat berbagai
kekurangan dan kesalahan, baik dari segi isi maupun segi bahasa. Untuk itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang bersifat konstruktif
untuk penyempurnaan makalah ini. Penulis berharap agar makalah ini dapat
berguna dan bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan bagi penulis pada
khususnya.
Malang, 1 September 2018
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang 1
1.2 Rumusan
Masalah 2
1.3 Tujuan
3
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Disiplin
2.2 Urgensi
Pembinaan Disiplin Peserta Didik
2.3 Teknik
Pembinaan dan Penerapan Disiplin di Kelas
2.4 Problematika
Disiplin Kelas
2.5 Membentuk
Disiplin di Kelas
2.6 Upaya
Menegakkan Disiplin
2.7 Pemeliharaan
dan Peningkatan Disiplin Peserta Didik
2.8 Implementasi
Hukuman dan Hadiah
2.9 Mendisiplinkan
Peserta Didik
2.10
Pendekatan Disiplin Peserta Didik
2.11
Masalah-Masalah yang Dihadapi Peserta
Didik
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
DAFTAR RUJUKAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Peserta didik sangat membutuhkan seseorang yang dipercaya dan bersedia
mendengarkannya. Guru adalah orang yang dimaksud. Pendidikan merupakan salah
satu cara untuk mengikuti perkembangan zaman. Pendidikan adalah sarana untuk
membekali generasi bangsa dengan pengetahuan dan ketrampilan untuk dapat
bertahan hidup di lingkungan masyarakat.Guru merupakan faktor penting dalam
keberhasilan belajar, karena guru tidak hanya sebagai sumber informasi, namun
juga sebagai motivator dalam belajar dan mengembangkan diri peserta didik di
sekolah.
Salah satu tugas guru adalah membina kedisiplinan peserta
didik. Guru sebagai seorang manajer di kelas diharuskan untuk mempunyai
keterampilan membina kedisiplinan peserta didik. Ketika peserta didik di kelas
itu disiplin maka suasana kelas menjadi kondusif sehingga tujuan pembelajaran
dapat tercapai.
Kedisiplinan berkaitan erat
dengan tingkah laku yang positif, seperti kebenaran, kejujuran, tanggung jawab,
kepatuhan atau taat, hormat, sopan, dan lain sebagainya. Itulah penyebab
kedisiplinan peserta didik di kelas adalah hal penting dalam terciptanya
perilaku peserta didik yang tidak menyimpang dari tata tertib kelas. Biasanya
guru memberikan hukuman (sanksi) sebagai konsekuensi dari
pelanggaran terhadap aturan, meski kadangkala menjadi kontroversi dalam
menerapkan metode pendisiplinannya, sehingga terjebak dalam bentuk
kesalahan perlakuan fisik dan kesalahan perlakuan psikologis. Sikap dan
perilaku yang diharapkan dari peserta didik adalah perilaku yang mencerminkan
sikap taat terhadap nilai yang telah
disepakati oleh semua pihak, baik oleh peserta didik maupun guru yang tertuang
dalam tata tertib atau aturan kelas.
1.2. Rumusan Masalah
Rumusan makalah
pada makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Apa pengertian disiplin?
2.
Bagaimana urgensi pembinaan disiplin
peserta didik?
3.
Bagaimana teknik pembinaan dan
penerapan disiplin di kelas?
4.
Apa saja problematika yang dihadapi
dalam pembinaan disiplin kelas?
5.
Apa langkah-langkah yang dilakukan
untuk membentuk disiplin di kelas?
6.
Apa upaya yang dilakukan untuk
menegakkan disiplin kelas?
7.
Apa langkah-langkah yang dilakukan
dalam rangka pemeliharaan dan peningkatan disiplin peserta didik?
8.
Bagaimana implementasi hukuman dan
hadiah bagi peserta didik?
9.
Bagaimana cara mendisipilinkan
peserta didik?
10. Apa
saja pendekatan disiplin peserta didik?
11. Apa
masalah-masalah yang dihadapi peserta didik dalam pembinaan disiplin?
1.3. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan
makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Untuk memaparkan pengertian disiplin;
2.
Untuk memaparkan urgensi pembinaan
disiplin peserta didik;
3.
Untuk menguraikan teknik pembinaan
dan penerapan disiplin di kelas;
4.
Untuk menguraikan problematika yang
dihadapi dalam pembinaan disiplin kelas;
5.
Untuk menguraikan langkah-langkah
yang dilakukan untuk membentuk disiplin di kelas;
6.
Untuk menguraikan upaya yang
dilakukan untuk menegakkan disiplin kelas;
7.
Untuk menguraikan langkah-langkah
yang dilakukan dalam rangka pemeliharaan dan peningkatan disiplin peserta
didik;
8.
Untuk memaparkan implementasi hukuman
dan hadiah bagi peserta didik;
9.
Untuk menguraikan cara
mendisipilinkan peserta didik;
10. Untuk
menguraikan pendekatan disiplin peserta didik;
11. Untuk
menguraikan masalah-masalah yang dihadapi peserta didik dalam pembinaan
disiplin.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Disiplin
Menurut Gunawan (2016:143) disiplin
diartikan sebagai latihan untuk mengendalikan diri, karakter, atau keadaan yang
tertib dan efisien. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:358)
disiplin diartikan sebagai tata tertib dan ketaatan pada kepatuhan terhadap
peraturan atau tata tertib. Sementara itu Gie mengartikan disiplin sebagai
suatu keadaan tertib dimana orang-orang yang tergabung dalam organisasi tunduk
pada peraturan yang telah ada dengan senang hati (Wiyani:2013b). Sementara
Good’s dalam Dictionary of Education
mengartikan disiplin sebagai berikut.
·
Proses atau hasil pengamatan atau
pengendalian keinginan, motivasi, atau kepentingan guna mencapai maksud atau
untuk mencapai tindakan yang lebih efektif.
·
Mencari tindakan terpilih dengan
ulet, aktif, dan diarahkan sendiri walaupun menghadapi hambatan.
·
Pengendalian perilaku secara langsung
dan otoriter dengan hukuman atau hadiah.
·
Pengekangan dorongan dengan cara yang
tidak nyaman bahkan menyakitkan (Imron, 2011).
Unsur-unsur disiplin meliputi: (1)
mengikuti dan menaati peraturan, nilai, dan hukum yang berlaku; (2) pengikutan
dan ketaatan tersebut terutama muncul karena adanya kesadaran diri bahwa hal
itu berguna bagi kebaikan dan keberhasilan dirinya, dan dapat juga muncul
karena rasa takut, tekanan, paksaan, serta dorongan dari luar darinya; (3)
sebagai alat pendidikan untuk mempengaruhi, mengubah, membina, dan membentuk
perilaku sesuai dengan nilai-nilai yang ditentukan atau diajarkan; (4) hukuman
yang diberikan bagi yang melanggar ketentuan yang berlaku, dalam rangka
mendidik, melatih, mengendalikan, dan memperbaiki tingkah laku; dan (5)
peraturan-peraturan yang berlaku sebagai pedoman dan ukuran perilaku.
2.2
. Urgensi
Pembinaan Disiplin Peserta Didik
Guru dalam pembinaan peserta didik,
harus mampu untuk melakukan beberapa hal, yakni: (1) membantu mengembangkan
pola perilaku dalam dirinya; (2) membantu meningkatkan standar perilakunya; dan
(3) menggunakan pelaksanaan tata tertib kelas sebagai media untuk menegakkan
disiplin. Fungsi utama disiplin adalah untuk mengajar mengendalikan diri dengan
mudah, menghormati,dan mematuhi otoritas.
Disiplin perlu dibina pada
diri siswa agar dapat: (1) meresapkan pengetahuan dan pengertian sosial secara
mendalam; (2) mengerti dan menjalankan apa yang menjadi kewajibannya; (3)
belajar mengendalikan keinginan dan berbuat sesuatu tanpa adanya peringatan
dari orang lain; (4) mengerti dan dapat membedakan perilaku yang baik dan
buruk.
Menurut Gunawan (2016:145)
manfaat disiplin yaitu: (1) menumbuhkan kepedulian siswa pada kebutuhan dan
kepentingan orang lain; (2) mengajarkan keteraturan, siswa memiliki pola hidup
yang teratur dan mampu mengelola waktunya dengan baik; (3) menumbuhkan
kemandirian; (4) membantu siswa yang sulit.
Tujuan disiplin kelas adalah:
(1) memberi dukungan bagi terciptanya perilaku yang tidak menyimpang; (2)
mendorong siswa melakukan yang baik dan benar; (3) membantu siswa memahami dan
menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungan; (4) siswa belajar hidup dengan
kebiasaan-kebiasaan yang baik dan bermanfaat baginya serta lingkungan.
2.3
Teknik
Pembinaan dan Penerapan Disiplin Kelas
Terdapat beberapa teknik pembinaan kelas
yaitu: (1) teknik keteladanan; (2) teknik bimbingan; dan (3) teknik pengawasan.
Sedangkan juga terdapat beberapa upaya dalam pembinaan disiplin kelas yaitu:
(1) mengadakan perencanaan bersama antara guru dengan siswa; (2) mengembangkan
kepemimpinan dan tanggung jawab pada siswa; (3) membina organisasi kelas secara
demokratis; (4) membiasakan siswa agar dapat mandiri dalam melaksanakan tugas
dan kewajibannya.
Teknik pembinaan dan
penerapan disiplin kelas menurut Wiyani (2013b) adalah: (1) teknik external control; (2) teknik internal control; dan (3) teknik coopertive control. Teknik external control, merupakan teknik disiplin
yang dikendalikan dari luar peserta didik. Teknik internal control, merupakan teknik yang mengusahakan peserta didik
untuk mendisiplinkan diri sendiri dalam kelas. Teknik coopertive control, merupakan teknik dimana peserta didik dengan
guru saling bekerja sama dalam menegakkan kedisiplinan di dalam kelas.
2.4 Problematika Disiplin
Kelas
Dalam manajemen kelas
masalah disiplin kelas harus diperhatikan karena akan mempengaruhi hasil dari
suatu pembelajaran. Penyebab dari timbulnya masalah disiplin kelas berasal dari
kurangnya pengetahuan guru untuk mengelola kelas yang baik, kurang tepatnya
pendekatan yang digunakan, dan materi pelajaran yan kurang dikuasai guru. Untuk
mengetahui faktor yang mempengaruhi disiplin dalam manajemen kelas seorang guru
harus dapat mengidentifikasi dan mengklasifikasikan masalah-masalah dalam
pengelolaan kelas. Menurut Gunawan (2016:148) cara-cara yang dapat dilakukan
guru untuk mengatasi masalah pengelolaan kelas adalah: 1) pendekatan yang
digunakan tepat; 2) menguasai materi dan mengkaitkannya dengan kehidupan yang
dekat dengan sisiwa; 3) menyampaikan materi dengan bahasa yang mudah dipahami;
dan 4) belajar dengan enjoy atau
tidak tegang.
Menurut Gunawan (2016:148) masalah dalam
pengelolaan kelas dapat dikelompokkan menjadi dua berdasarkan sumbernya, yang
pertama bersumber dari guru dan yang kedua dari peserta didik. Masalah yang
bersumber dari guru contohnya guru memiliki masalah pribadi yang dibawa kedalam
kelas, guru kurang menguasai materi sehingga peserta didik kuram paham, guru
kurang berwibawa, guru tidak memiliki hubungan baik dengan siswa, guru tidak
memberi keteladanan, dan guru kurang menggunakan media, strategi, dan metode
yang baik. Sedangkan masalah yang bersumber dari peserta didik misalnya peserta
didik memiliki masalah pribadi, menakuti suatu mata pelajaran, terdapat
gangguan fisik, dan hubungan antara guru maupun siswe. Setiap Perkembangan Mempunyai Perilaku
Karateristik
Karateristik
tertentu dalam perkembangan juga dapat diramalkan, ini berlaku baik untuk
perkembangan fisik maupun mental. Semua anak mengikuti pola perkembangan yang
sama dari satu tahap menuju tahap berikutnya. Bayi berdiri sebelum dapat
berjalan. Menggambar lingkaran sebelum dapat
menggambar segi empat. Pola perkembangan ini tidak akan berubah
sekalipun terdapat variasi individu dalam kecepatan perkembangan. Pada anak
yang pandai dan tidak pandai akan mengikuti urutan perkembangan yang sama
seperti anak yang memiliki kecerdasan rata-rata. Namun ada perbedaan mereka
yang pandai akan lebih cepat dalam perkembangannya dibandingkan anak yang
memiliki kecerdasan rata-rata, sedangkan anak yang bodoh akan berkembang lebih
lambat. Perkembangan bergerak dari tanggapan umum menuju tanggapan yang lebih
khusus. Misalnya seorang bayi akan mengacak-acak mainan sebelum dia mampu
melakukan permainan itu dengan jari- jarinya. Demikian juga dengan perkembangan
emosi, anak secara umum akan merespon dengan rasa takut pada suatu hal yang
baru namun selanjutnya akan merepon ketakutan secara khusus pada hal yang baru
tersebut.
f. Harapan sosial pada setiap tahap
perkembangan
Orangtua
dan masyarakat memiliki harapan tertentu pada tiap tahap perkembangan anak.
Jika tahap itu tercapai maka orangtua atau
masyarakat akan berbahagia. Misalnya anak usia 1 (satu) tahun sudah
pandai berjalan, jika sampai usia tersebut anak belum bisa berjalan, maka akan
membuat gelisah orang-orang di sekitarnya pemodelan, sosial-historis,
psikonalitik, psiko-sosial, perkembangan bahasa, dan humanistik. Berikut ini
penjelasan masing-masing teori tentang perkembangan peserta didik
2. Karakteristik
Aspek-Aspek Perkembangan Peserta Didik secara Kognitif
2.1 Di Tingkat TK
Usia prasekolah memberikan contoh luar biasa bagaimana anak-anak
memainkan peran aktif dalam
pengembangan kognitif mereka
sendiri, khususnya dalam
upaya memahami,
menjelaskan, mengorganisasikan, memanipulasi, membangun, dan memprediksi. Anak-anak muda juga
melihat pola dalam objek dan peristiwa dunia dan kemudian berusaha
mengatur pola-pola untuk
menjelaskan dunia itu.
Pada saat yang sama,
anak-anak prasekolah memiliki
keterbatasan kognitif. Anak-anak
prasekolah mengalami
kesulitan mengenddalikan perhatian
mereka sendiri dan
fungsi memori, bingung dalam
menampilkan diri, dangkal dengan realitas, dan
fokus pada satu aspek pengalaman
pada suatu waktu.
Anak-anak prasekolah cenderung
memuat kesalahan lintas budaya
yang sama karena kemampuan kognitif yang belum matang.
Menurut Piaget Tahun 2002
perkembangan kognitif terjadi antara umur 2 dan 7 tahun sebagai
tahap praoperasional. Pada
tahap ini, anak-anak
meningkatkan penggunaan
bahasa dan simbol
lainya, mereka meniru
perilaku dan permainan
orang dewasa. Anak-anak mengembangkan daya tarik dengan bahasa tahu
kata-kata baik dan buruk. Anak-anak juga memainkan permainan membuat percaya
seperti menggunakan kotak kosong sebagai mobil, bermain dalam keluarga dengan
saudara, dan memelihara persahabatan imajiner. Selain itu, juga menggambarkan
tahap praoperasional dalam hal apa yang anak-anak tidak bisa lakukan.
Setelah melewati
masa praoperasional, anak
memasuki fase operasional. Piaget menggunakan
istilah operasional untuk
mengacu pada kemampuan
reversible, bahwa ank-anak
belum berkembang. Dengan reversibel, Piaget Tahun 2002 menyebut tindakan mental
atau fisik yang bisa berulang atau menggunakan cara lain yang mirip yang
berarti bahwa mereka dapat menggunakan di lebih dari satu cara atau arah. Anak-
anak terlibat dalam
pemikiran magis, misalnya
ketika berbicara dengan
orang tua mereka melalui
telepon dan kemudian
meminta hadiah, mengharapkan untuk memperoleh hadiah melalui pembicaraan
telepon itu.
5
Piaget percaya bahwa kemampuan kognitif anak-anak prasekolah dibatasi
oleh egosentrisme atau ketidakmampuan untuk
membedakan antara titik
pandang mereka sendiri dan
sudut pandang orang
lain. Kapasitas egosentris
jelas pada semua
tahap perkembangan kognitif, tetapi egosentrisme
sangat jelas pada
tahun prasekolah. Anak-anak kecil akhirnya memiliki pandangan, perasaan, dan
keinginan yang berbeda. Kemudian ank-anak bisa menafsirkan motif orang lain dan
menggunakan mereka untuk berkomunikasi saling memberi
intepretasi dan karena
itu lebih efektif
dengan orang lain. Akhirnya,
anak-anak prasekolah belajar untuk menyesuaikan irama vokal mereka, nada, dan
kecepatan untuk mencocokanya
dengan para pendengar.
Karena aktivitas komunikasi
saling membutuhkan antarpihak dan ank-anak prasekolah masih egosentris, mereka
dapat terjerumus ke dalam pidato egosentris, bahkan melahirkan masa frustasi.
Dengan kata lain,
anak-anak dan orang
dewasa dapat mundur
ke pola perilaku sebelumnya ketika sumber daya
kognitif mereka stres dan kewalahan.
Berbeda
dengan teori Piaget mengenai egosentrisme masa kanak-kanak, studi yang sama
menunjukan bahwa anak-anak
dapat melakukan sesuatu
berkaitan dengan kerangka acuan
orang lain. Anak berusia 2 atau 3 tahun, misalnya, telah menunjukan
kemampuan untuk memodifikasi
lisan mereka dalam
upaya berkomunikasi dengan lebih
jelas dengan anak-anak
muda. Peneliti John
Flavell menyarankan bahwa kemajuan ank
pertama, sekitar usia
2 sampai 3
tahun, anak memahami
bahwa orang lain memilki
pengalaman sendiri. Pada tingkat kedua, sekitar umur 4 sampai 5 tahun,
anak-anak menafsirkan pengalaman orang lain, termasuk pikiran dan perasaan
mereka.
Khusus anak berusia lima tahun, tertarik pada bagaimana pikiran mereka
dan pikiran orang lain
bekerja. Anak-anak akhirnya
membetuk teori pikiran,
kesadaran, pemahaman tentanf state of thinking lain serta tindakan yang
menyertainya. Anak-anak kemudian
dapat memprediksi bagaimana
orang lain berpikir
dan bereaksi, terutama berdasarkan pengalaman mereka
sendiri di dunianya. Khusus anak berusia 2 sampai 5 tahun jelas
menunjukan bahwa Piaget
salah mengasumsikan bahwa
anak-anak praoperasional hanya berpikiran secara harfiah. Bahkan
anak-aak dapat berpikir logis, memproyeksikan
diri sendiri kedalam
situasi orang lain,
dan menafsirkan lingkungannya.
6
Memori adalah kemampuan
untuk menyandikan, mempertahankan, dan mengingat kembali
informasi yang diperoleh
dari waktu ke
waktu. Anak-anak harus belajar
mengkodekan objek, orang,
dan tempat-tempat; kemudian
bisa mengingatnya dengan memori
jangka panjang. Anak-anak kecil bisa mengingat, seperti halnya anak- anak lain
dan orang dewasa.
Selain itu, anak-anak
ini lebih baik
dari pada sekedar pengakuan mengingat memori tugas.
Para peneliti menduga beberapa kemungkinan penyebab perkembangan ini.
Salah satu penjelasan yang relevan adalah bahwa anak-anak prasekolah
mungkin kekurangan dalam
aspek tertentu dari
perkembangan otak yang diperlukan untuk kemampuan memori dibandingkan
dengan orang dewasa. Bahwa anak-anak prasekolah tidak memiliki kemampuan
numerik yang sama dan jenis pengalaman
menarik pada pengolahan
informasi sebagaimana dimiliki
oleh orang dewasa. Mereka
cenderung kurang perhatian selektif (selective
attention), yang berarti ia
lebih mudah terganggu.
Pada sisi lain
anak-anak tidak memiliki
kualitas dan kuantitas yang sama,
serta strategi mnemonic efektif
sebagai orang dewasa.
Anak-anak prasekolah
menunjukkan minat yang
intern dalam belajar keterampilan dan mengembangkan
inisiatif. Anak-anak memiliki rasa ingin tahu yang melekat tentang
dunianya, yang menuntut
kebutuhan untuk belajar
sebanyak dan secepat mungkin.
Beberapa anak muda mungkin menjadi
frustasi ketika belajar tidak
terjadi secepat atau
seefisien yang diinginkan. Ketika
situasi belajar terstruktur
anak- anak mungkin berhasil
-menetapkan tujuan cukup
terjangkau dan memberikan bimbingan dan dukungan- mereka
bisa sangat matang dalam kemampuan
memproses informasi.
2.2 Di Tingkat SD
Kemampuan
berpikir secara sistematis tentang beberapa topik pada anak, anak usia sekolah
lebih mudah dari
anak-anak prasekolah. Anak-anak
yang lebih tua
telah memiliki metakognisi (metacognition) yang
lebih tajam, rasa
dunia batin mereka sendiri. Anak-anak ini menjadi
terampil memecahkan masalah. Perkembangan kognitif yang terjadi antara usia 7
dan 11 tahun (tingkat SD) disebut oleh Piaget sebagai tahap operasi konkret (concrete operations stage). Piaget
menggunakan istilah operasi untuk mengacu
pada kemampuan
reversibel anak belum
dikembangkan. Reversibel (reversible) oleh Piaget dimaknai
sebagai tindakan mental atau fisik yang dapat terjadi pada lebih dari satu cara
atau arah yang berbeda. Pada tahap operasi konkret, anak-anak tidak dapat
berpikir baik secara
logis maupun abstrak.
Anak usia ini
dibatasi untuk berpikir
konkret-nyata, pasti, tepat, dan uni-direksional- istilah yang lebih
menunjukkan pengalaman nyata dan konkret ketimbang abstraksi.
Anak-anak yang lebih tua tidak
menggunakan pemikiran magis dan tidak mudah disesatkan seperti
anak-anak muda. Tidak
seperti anak-anak prasekolah,
anak-anak sekolah tahu lebih baik daripada meminta orangtua mereka untuk
membawa terbang di udara seperti yang
dilakukan oleh burung.
Piaget menyatakan bahwa
proses berpikir anak-anak berubah
secara signifikan selama
tahap operasi konkret.
Anak-anak usia sekolah bisa
terlibat dalam klasifikasi
atau kemampuan untuk
mengelompok sesuai dengan figur
dan serial pemesanan
atau kemampuan untuk
mengelompokkan sesuai dengan perkembangan
logis. Anak-anak yang
lebih tua telah
memiliki kemampuan untuk memahami
hubungan sebab-akibat dan
menjadi mahir matematika
dan sains. Memahani konsep
identitas diri sendiri
yang stabil dan
tetap konsisten bahkan
ketika keadaan berubah konsep lain ditangkap oleh anak-anak yang lebih
tua. Misalnya, anak yang lebih memahami konsep identitas stabil dari seorang
ayah menjaga identitas laki- laki, terlepas dari apa yang dia pakai atau
bagaimana ia menjadi tua.
|
Anak-anak pada awal
tahap operasi konkret
menunjukkan konservasi atau kemampuan untuk
melihat bagaimana sifat
fisik tetap konstan
sebagai tampilan dan mengubah
bentuk. Tidak
seperti anak-anak prasekolah,
anak-anak usia sekolah memahami bahwa
jumlah yang sama
dari tanah liat
hitam yang diberi
bentuk yang berbeda tetap sama
jumlahnya. Seorang anak operasional konkret akan memberi tahu bahwa lima bola
golf adalah sama
dengan jumlah lima
buah kelereng, tapi
bola golf lebih besar
dan akan menggunakan
lebih banyak tempat
daripada kelereng, kecuali kelerengnya sama
besarnya dengan bola
golf. Piaget percaya
bahwa kemampuan kognitif
praoperasional dibatasi oleh egosentrisme ketidakmampuan untuk memahami sudut
pandang orang lain. Tapi egosentrisme itu tidak ditemukan pada anak-anak pada
tahap operasi konkret.
Pada tahun-tahun sekolah,
anak-anak biasanya belajar
bahwa orang lain memiliki padangan, perasaan, dan keinginan mereka
sendiri.
Model perkembangan kognitif
Piaget telah mengundang
kontroversi dan banyak
diperdebatkan akhir-akhir ini. Hasil penelitian eksperimental telah melahirkan
temuan baru yang bertentangan dengan aspek-aspek tertentu dari teori Piaget.
Sebagai contoh, ahli teori
kognitif seperti Robert
Siegler telah menjelaskan
fenomena konservasi itu tidak
tiba-tiba alias lambat.
Aturan perubahan progresif
yang dialami oleh anak guna
memecahkan masalah, bukan perubahan mendadak dalam kapasitas dan skema kognitif.
Penelitian lain menujukkan
bahwa anak-anak yang
lebih muda dan lebih
tua berkembang dengan
berjalan melalui kontinuum
kapasitas bukan sekedar serangkaian tahapan diskrit. Selain
itu, para peneliti percaya bahwa kemampuan anak- anak dalam mengerti dan
memahami jauh lebih dari apa yang dikemukakan dalam teori Piaget. Dengan
pelatihan, misalnya, anak-anak
muda dapat juga
melakukan banyak tugas yang
sama sebagai anak-anak yang
lebih tua. Para
peneliti juga menemukan bahwa anak-anak tidak sebagai sosok
yang egosentris, tergantung, magis, atau konkrit sebagaimana dikemukakan
oleh Piaget dan
bahwa perkembangan kognitif
mereka sangat ditentukan oleh pengaruh biologis dan budaya.
Ingatan
Anak
usia sekolah lebih baik pada keterampilan mengingat daripada rata-rata
anak-anak yang berusia di bawahnya.
Lebih dari sekedar memahami
dunianya, anak- anak yang lebih
tua lebih tertarik
pada saat encoding dan
mengingat informasi. Di sekolah,
anak-anak yang lebih
tua juga belajar
bagaiman menggunakan perangkat mnemonik (mnemonic
devices) atau strategi
memori. Menciptakan lirik
lucu, merancang akronim, chunking fakta (menyusun daftar panjang item ke
dalam tiga atau empat kelompok), dan
melatih mengingat fakta
(mengulanginya berkali-kali)
membantu anak-anak mengingat jumlah yang semakin rumit dan jenis informasi.
Anak- anak dapat mengingat
lebih banyak ketika
berpartisipasi dalam pembelajaran kooperatif, dimana pendidikan
diawasi oleh orang dewasa bergantung pada rekan-rekan berinteraksi, berbagi,
merencanakan, dan mendukung satu sama lain. Anak usia sekolah juga mulai
memperlihatkan metamemory atau
kemampuan memahami sifat memori dan memprediksi seberapa baik seseorang akan
mengingat sesuatu. Metamemory membantu
anak-anak merasa berapa banyak waktu belajar yang diperlukan untuk tes
matematika minggu depan, misalnya.
Anak yang cerdas
Psikolog
intelegensi dan otoritas lainnya sangat tertarik pada kecerdasan anak.
Kecerdasan adalah kapasitas
kognitif yang merujuk
pada pengetahuan, adaptasi,
dan kemampuan seseorang untuk
berpikir dan bertindak
secara sengaja. Sifat
multifaset kecerdasan memerlukan perbedaan
antara kecerdasan dasar
(IQ akademis) dan kecerdasan terapan (IQ praktis).
Misalnya, Howard Gardner berpendapat bahwa anak- anak menunjukan
kecerdasan ganda (multiple intelligences), termasuk
kemampuan di bidang musik,
gerakan yang kompleks, dan empati.
Demikian pula, Robert Sternberg mengemukakan teori kecerdasan yang menyatakan
bahwa teori kecerdasan terdiri dari tiga faktor yaitu: keterampilan pengolahan
informasi, konteks, dan pengalaman. Ketiga faktor menentukan kognisi atau
perilaku yang cerdas.
10
2.3 Di Tingkat SMP dan SMA
Kebanyakan peserta didik
mencapai tahap operasi formal (formal
operations) versi Piaget pada usia sekitar 12 tahun atau lebih, dimana
mereka mengembangkan alat baru untuk memanipulasi informasi. Pada fase
sebelumnya, ketika masih sebagai anak- anak
mereka hanya bisa
berpikir konkret. Ketika
memasuki tahap operasi
formal mereka bisa berpikiran
abstrak dan deduktif.
Peserta didik pada
tahap ini juga mempertimbangkan masa
depan, mencari jawaban,
menagani masalah, dengan fleksibel, menguji hipotesis, dan
menarik kesimpulan, atas kejadian yang mereka tidak mengalami secara langsusng.
Titik puncak
atau jatuh tempo
perkembangan kognitif terjadi
ketika peserta didik sudah
memasuki usia dewasa dan jaringan sosial makin berkembang. Ketika itu pula kemampuan
otak dan jaringan
sosial menawarkan lebih
banyak kesempatan dibandingkan
dengan fase sebelumnya untuk bereksperimen dengan kehidupan. Karena itu, pengalaman
duniawi memainkan peran
besar kehidupan. Karena
itu, pengalaman duniawi memainkan
peran besar dalam
mencapai tingkat operasi
formal, meski tentu tidak
semua remaja mampu
memasuki tahap perkembanagan
kognitif yang ideal. Karena
itu pula, sebagai
peserta didik yang
sesungguhnya cerdas namun
berprestasi kurang (underachiever).
Akibat tidak mengoptimalkan diri.
Banyaknya hasil
studi yang menunjukan
bahwa kemampuan rasional
yang abstrak dan kritis
berkembang melalui proses
pendidikan dan pembeljaran,
serta penelitian secara melalui
proses pendidikan dan
pembelajaran, serta pelatihan
secara kontinyu. Sebagai contoh,
penalaran sehari-hari siswa
mengalami peningkatan sejak tahun-tahun pertama
belajar hingga menamatkan
pendidikan jenjang tertentu.
Hal ini menunjukan nilai
pendidikan dalam pematangan
kognitif itu dirangsang
oleh kontinulitas dan konsistensi
poroses aktivisi. Fenomena
ini tidak untuk diberi
makna bahwa kecerdasan intelektual seseorang terus meningkat, karena ada
titik optimumnya.
11
Sternberg
tahun 2008 menyebutkan
bahwa kecerdasan terdiri
dari tiga aspek atau dikenal dengan triarkis teori (triarchic theory), yaitu: componential, experiential, berwawasan, dan kontektual adalah aspek praktis.
Kebanyakan tes kecerdasan (Tes IQ) hanya
mengukur kecerdasan komponensial,
walaupun ketiganya diperlukan
untuk memprediksi keberhasilan akhir seseorang dalam hidupnya. Dengan
demikian peserta didik harus belajar untuk memecahkan aneka masalah.
Dapat
dijelaskan bahwa kecerdasan komponensial (componential
intelligence) bermakna
kemampuan untuk menggunakan
strategi pemrosesan informasi
ketika peserta didik mengidentifikasi dan
berfikir tentang pemecahan
masalah dan mengevaluasi hasil.
Individu yang kuat
dalam kecerdasan komponensial
umumnya memperoleh hasil baik
pada tes mental
standar. Juga terlibat
dalam kecerdasan
komponensional adalah metakognisi
(metacognition), yang
merupakan sebuah proses kesadaran kognitif
seseorang, suatu kemampuan
pribadi yang oleh
beberapa ahli di klaim sangat penting untuk memecahkan masalah.
Kecerdasan eksperiensial (experiential intelligence) adalah
kemampuan metrasfer
pembelajaran secara efektif
untuk memperoleh keterampilan
baru. Dengan kata lain, kecerdasan
ekperiensial adalah kemampuan untuk membandingkan informasi lama dan
baru, dan untuk
menempatkan fakta bersama
dengan cara-cara yang
asli. Inividu yang kuat
dan kecerdasan ekperiensial
atau kecerdasan pengalaman
mampu mengatasi dengan baik hal-hal baru dan cepat belajar membuat
tugas-tugas baru secra otomatis.
Kecerdasan kontekstual (contextual intelligence) adalah
kemmpuan untuk menerapkan kecerdasam
praktis, termasuk memiliki
kepedulian sosial, budaya,
dan konteks historis. Individu
yang kuat dalam
kecerdasan kontekstual dengan
mudah beradaptasi dengan lingkungan
mereka, dapat berubah
ke lingkungan lainnya,
dan bersedia memperbaiki lingkungan
mereka bila diperlukan.
Suatu bagian penting
dari kecerdasan kontekstual adalah
pengetahuan diam-diam (tacit konowladge) atau perolehan pengalaman yang “cerdas” yang
tidak secara langsung diajarkan. Contohnya, adalah mengetahui
cara memotong alur
kerja birokrasi kelembagaan
dan manuver melalui sistem pendidikan
dengan paling sedikit menimbulkan kerumitan.
3. Karakteristik
Aspek-Aspek Perkembangan Peserta Didik secara Bahasa
Bahasa adalah sarana berkomunikasi dengan orang lain. Dalam pengertian
ini tercakup semua cara untuk berkomunikasi, dimana pikiran dan perasaan
dinyatakan dalam bentuk tulisan, lisan, isyarat, atau gerak dengan menggunakan
kata-kata, kalimat bunyi, lambang, gambar, atau lukisan. Dengan bahasa, semua
manusia dapat mengenal dirinya, sesama manusia, alam sekitar, ilmu pengetahuan,
dan nilai-nilai moral atau agama. Usia sekolah dasar ini merupakan masa
berkembang pesatnya kemampuan mengenal dan menguasai perbendaharaan kata. Pada
masa ini, anak sudah menguasai sekitar 2.500 kata, dan apada masa
akhir (usia 11-12 tahun) telah dapat menguasai sekitar 500.000 kata (
Syamsuddin, 1991). Dengan dikuasainya keterampilan membaca dan berkomunikasi
dengan orang lain, anak sudah gemar membaca atau mendengarkan cerita yang
bersifat kritis. Pada masa ini tingkat pemikiran anak lebih maju, dia banyak
menanyakan waktu dan sebab akibat. Oleh sebab itu kata yang digunakanpun yang
semula hanya “apa” sekarang sudah diikuti dengan pertanyaan “dimana”,
“darimana”, “kemana”, “mengapa”, dan “bagaimana”.
Terdapat dua faktor penting yang mempengaruhi perkembangan bahasa, yaitu
sebagai berikut:
a. Proses jadi matang, dengan
perkataan lain anak itu menjadi matang (organ- organ suara/bicara sudah
berfungsi) untuk berkata-kata.
b. Proses belajar, yang berarti
bahwa anak yang telah matang untuk berbicara lalu mempelajari bahasa orang lain
dengan jalan mengimitasi atau meniru ucapan/kata-kata yang didengarkannya.
Kedua proses ini berlangsung sejak masa bayi dan kanak-kanak, sehingga pada
usia anak memasuki sekolah dasar sudah sampai pada tingkat dapat membuat
kaliamat yang lebih sempurna, dapat membuat kalimat majemuk, dan dapat
menyususn dan mengajukan pertanyaan.
Di sekolah diberikan pelajaran bahasa yang dengan sengaja menambah
perbendaharaan katanya, mengajar menyusun struktur kalimat, peribahasa,
kesustraan, dan keterampilan mengarang. Dengan dibekali pelajaran bahasa ini,
diharapkan peserta didik dapat menguasai dan mempergunkannya sebagai alat
untuk:
a. Berkomunikasi dengan orang lain. b. Menyatakan isi hatinya.
c. Memahami keterampilan mengolah informasi
yang diterimanya. d. Berpikir
(menyatakan gagasan atau pendapat).
e. Mengembangkan kepribadiannya, seperti menhyatakan
sikap dan keyakinannya
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Perkembangan kognitif merupakan perubahan kemampuan berpikir
atau intelektual.periode ini
adalah tahap dimana
kemampuan berpikir manusia
mengalami peningkatan yang cukup
signifikan terutama pada
awal kelahiran, sejalan
dengan otak perkembangan biologis.
Aspek-aspek pertumbuhan dan
perkembangan antara lain: perkembangan kecerdasan/intelek,
temperamen (emosi), sosial, bahasa, bakat khusus dalam perbedaan individual unik.
Prinsip-prinsip
perkembangan peserta didik
meliputi perkembangan adalah proses
yang tak berakhir,
setiap anak bersifat
individual dan berkembang sesuai
dengan perkembangannya, semua aspek perkembangan saling berkatan, perkembanagan
berlangsung dari kemampuan bersifat umum menuju ke bersifat khusus, serta
perkembangan itu terarah dan dapat diramalkan.
DAFTAR RUJUKAN
Danim, S. 2010. Perkembangan Peserta Didik. Bandung:
Alfabeta.
Yusuf, Syamsu. 2014. Psikologi
Perkembangan Anak & Remaja. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Karso, dkk (Ed). 1982. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Pusat
Perkembangan
Penataran Guru Tertulis,
Depdikbud.
Hurlock, Elizabeth. 1980.
Terjemahan Istiwidayanti dan Soedjarwo. Psikologi
Perkembangan
Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga. Syamsyuddin, Abin. 1990. Psikologi Pendidikan. Bandung: PPB-FIP
IKIP Bandung.
Sternberg, Robert. (2008). Psikologi Kognitif. Edisi Keempat.
Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Piaget, Jean. 2002. Tingkat Perkembangan
Kognitif. Jakarta: Gramedia.
16
bagus
BalasHapus